Masalah ternyata ga selesai sampai disitu. Orang tua saya menginginkan resepsi diadakan di Indonesia, dengan alasan karena saya anak sulung. Sedangkan saya dan Mas menginginkan resepsi diadakan di Jepang saja dengan alasan menekan budget juga Mas yang tidak memungkinkan buat pulang ke Indonesia. Setelah diskusi yang sangat panjang kami memutuskan untuk memanggil keluarga ke Jepang dan pernikahan tetap diadakan di Jepang. Sebelum pergi ke Jepang kedua belah pihak keluarga bertemu terlebih dulu di Sumedang.
Kami mengira masalah selesai sampai disitu. Ternyata kami masih harus berhadapan dengan masalah surat-surat pengantar. Meskipun surat pengantar nikah N1 dan segala rupanya sudah diselesaikan oleh keluarga di Indonesia dan telah dilampirkan buat kelengkapan syarat menikah disini, pihak kedutaan meminta surat pernyataan dari orang tua saya bahwa orang tua saya menyerahkan saya buat dinikahkan oleh pihak wali hakim. Padahal jelas-jelas Bapak saya bisa datang ke Jepang dan menyanggupi untuk menjadi wali nikah. Tapi pejabat yang bersangkutan di kedutaan tidak bersedia menikahkan kalau tidak ada surat tersebut. Akhirnya orang tua saya mengalah dan membuat surat tersebut yang katanya hanya sebagai formalitas saja. Ternyata itu tidak hanya sekedar formalitas saja, sebut saja Bapak M, yang mengurus pernikahan kami menulis nama penghulu sebagai wali nikah saya di surat nikah kami. Betapa merasa berdosa nya saya kepada orang tua saya yang telah banyak mengalah buat pernikahan kami ternyata di surat nikah ditulis nama orang lain sebagai wali nikah. Padahal pas nikah Bapak menjadi wali nikah saya, tanpa diwakilkan. Meski hanya sebatas surat, saya ga bisa membayangkan perasaan Bapak begitu melihat surat nikah kami yang tidak ada nama beliau. Allah maha mengetahui segalanya. Meskipun kejadian itu sudah setahun lebih, tapi masih jadi ganjalan buat kami. Biar Allah yang membalas semuanya.
Semoga jadi pembelajaran buat pasangan yang hendak menikah disini untuk lebih teliti dengan persyaratannya.